PALANGKA RAYA, inikalteng.com – Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) asal Provinsi Kalteng, Dr Agustin Teras Narang SH menekankan bahwa Pancasila merupakan dasar negara, sumber dari segala sumber hukum, yang lahir dari kearifan lokal dan nilai luhur masyarakat adat di Indonesia. Dengan demikian, penting negara menghormati keberadaan, mengakui, melindungi, serta memberdayakan masyarakat adat.
“Adat dan kebudayaan berperan penting dalam membentuk wajah hukum nasional. Sebab, hukum sendiri sejatinya adalah cermin dari akal budi dan peradaban suatu bangsa,” jelas Teras Narang ketika menjadi narasumber bersama Rektor UPR Dr Andrie Elia SE MSi dalam Dialog Bersama Masyarakat Intelektual Fakultas Hukum Universitas Palangka Raya bertajuk Kuliah Umum Hukum Adat secara zoom meeting, Jumat (1/10/2021).
Disebutkan, untuk membedakan antara adat dan hukum adat, dilihat dari unsur sanksi. Sehingga tidak semua adat merupakan hukum adat. Hanya adat yang bersanksi yang dapat digolongkan sebagai hukum adat.
Mantan Gubernur Kalteng dua periode ini menegaskan, bahwa UUD serta berbagai perundang-undangan lain, termasuk Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria (UUPA), baik dalam pertimbangan pendapat dan isinya menempatkan hukum adat secara terhormat sejauh tidak bertentangan dengan agama dan hukum nasional.
“Penggunaan hukum adat dalam pembangunan hukum nasional bermakna memasukkan konsepsi dan azas-azas hukum adat ke dalam lembaga-lembaga masyarakat modern, agar sesuai dengan tuntutan tata masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Penggunaan bahan hukum adat juga termasuk penggunaan lembaga hukum adat, disesuaikan dengan tuntutan zaman tanpa menghilangkan ciri aslinya,” jelasnya.
Teras juga mengingatkan, keberadaan lembaga adat, hukum adat dan masyarakat adat termasuk hak-hak tradisionalnya, pun diakui oleh negara sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 18 B angka (2) Pasal 28 I ayat (3) UUD 1945, bahwa “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”.
Merujuk pada sejarah masyarakat Dayak, ungkap Teras, hasil Pertemuan Damai Tumbang Anoi tahun 1894 merupakan cikal bakal lahirnya hukum adat Dayak. Pertemuan itu bersejarah karena berhasil menyatukan satu penyeragaman hukum adat masyarakat Dayak seluruh Pulau Borneo, dan kemudian dikenal dengan hukum adat yang terdiri dari 96 pasal. Secara umum, seluruh pasal terdiri dari 3 golongan yakni berkaitan dengan Pelanggaran Hadat/Adat, Sengketa Tanah, dan kekerasan fisik maupun nonfisik. “Ini menandakan bahwa sejak masa lampau Masyarakat Adat Dayak telah memiliki hukum adat yang disertai pengaturan serta sanksi bagi pelanggarnya,” imbuhnya.
Untuk mengukuhkan keberadaan dan menjaga masyarakat hukum adat, ungkap Teras, maka keberadaan lembaga adat beserta kearifan lokalnya di Kalteng telah ditetapkan dengan Peraturan Daerah, di antaranya Perda Nomor 16 Tahun 2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak di Kalteng, Pergub Nomor 13 Tahun 2009 tentang Tanah Adat dan Hak-hak Adat di Atas Tanah, Perda Nomor 5 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kebun Berkelanjutan, dan Pergub Nomor 22 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kurikulum Muatan Lokal.
Hal ini, lanjut Teras, sebagai bentuk kebijakan Pemerintah Provinsi Kalteng dalam mengaplikasikan penjelasan Pasal 67 ayat (1) UU 41/99, bahwa Masyarakat Hukum Adat yang diakui keberadaannya apabila: a. masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban; b. ada lembaga dalam bentuk perangkat penguasa; c. ada wilayah hukum adat yang jelas; d. ada peradilan adat yang masih ditaati; dan e. masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. (*/red)
Komentar