PALANGKA RAYA, inikalteng.com – Rektor Universitas Palangka Raya (UPR) Dr Andrie Elia SE MSi, menyampaikan Karya Ilmiahnya tentang Ritual Kematian Suku Dayak dalam Perspektif Budaya dan Pariwisata. Karya Ilmiah tersebut, disampaikan Ketua Harian DAD Kalteng ini, saat menjadi salah seorang narasumber dalam kegiatan Seminar Nasional (Seminas) Budaya Nusantara, secara virtual, Minggu (5/9/2021).
Dalam materinya Andrie Elia menyampaikan, pada umumnya upacara kematian dilakukan dengan cara dikubur. Namun ternyata ada sejumlah daerah-daerah di Indonesia, yang memiliki sejumlah tradisi yang berbeda dari upacara kematian umumnya. Sebenarnya tradisi-tradisi tersebut adalah peninggalan kebudayaan, sebelum datangnya agama Islam dan Kristen ke Indonesia.
“Salah satunya adalah Tiwah yang merupakan ritual kematian tingkat kedua dalam kepercayaan umat Kaharingan (Kepercayaan leluhur suku Dayak), untuk mengantarkan roh manusia menuju surga (Lewu Tatau),” ujarnya.
Adapun ritual kematian lainnya adalah Rambu Solo, yang berasal dari Toraja. Upacara kematian Rambu Solo diselenggarakan secara besar-besaran, persiapan upacara ini dapat memakan waktu hingga berbulan-bulan. Sementara menunggu persiapan selesai, jasad yang akan dimakamkan, disemayamkan terlebih dahulu dalam sebuah peti.
Upacara ini disertai dengan upacara penyembelihan berbagai hewan ternak, terutama kerbau. Semakin tinggi status sosial, maka semakin banyak kerbau yang akan disembelih berkisar antara 24 sampai 100 ekor.
Ada lagi upacara Ngaben yang berasal dari Bali, upacara tersebut berupa proses kremasi atau pembakaran jenazah. Tujuan dari upacara itu adalah untuk menyucikan roh orang yang sudah meninggal. Jika pihak yang meninggal tersebut berasal dari kasta tinggi, maka upacara Ngaben akan segera dilaksanakan.
Kemudian di Trunyan, Bali, orang-orang yang meninggal di desa ini tidak dikuburkan maupun dibakar, melainkan jenazah akan diletakkan di bawah sebuah pohon yang disebut Taru Menyan. Jenazah hanya akan ditutupi dengan sungkup bambu, di sekitarnya diletakkan beberapa perlengkapan mendiang. Dikabarkan bahwa meskipun demikian, tempat itu tidak mengeluarkan bau busuk.
Hal ini dipercaya disebabkan pohon Taru Menyan yang menaungi tempat tersebut, mampu melenyapkan bau-bau yang dihasilkan mayat-mayat yang diletakkan di sana.
Lainnya adalah Mumifikasi Suku Asmat, dan tidak sembarang jenazah yang dimumifikasi Suku Asmat. Tradisi itu hanya dilakukan pada jenazah-jenazah kepala suku atau orang-orang tertentu yang memiliki posisi penting dalam suku. Jika diperhatikan dari posisi memeluk lutut, memang posisi sakral dalam kepercayaan animisme–dinamisme.
Sebelum masuknya penyebaran agama-agama di nusantara (Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu), penduduk di nusantara telah memiliki sistem kepercayaan pada masing-masing suku maupun kelompok suku.
Kepercayaan nusantara tersebut, misalnya Kaharingan dari Kalimantan, Kejawen dari Jawa, Wiwitan dari Sunda, Parmalim dari Batak, Rambu Aluk Todolo dari Toraja, Marapu dari Pulau Sunda, dan lain-lain.
Sampai saat ini selain enam agama resmi yang diakui pemerintah, terdapat minimal 187 aliran kepercayaan di nusantara yang tentunya memiliki tradisi ritual kematiannya sendiri-sendiri, yang berbeda dengan daerah lain. Selain itu Pemberontakan G30 S PKI, memberikan dampak besar terhadap kepercayaan Nusantara, sehingga munculnya sikap skeptis dan ketidakpengakuan pemerintah terhadap kepercayaan nusantara.
Namun sejak 7 November 2017, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa penghayat kepercayaan nusantara diakui sebagaimana kepercayaan lainnya di Indonesia, dan dapat dimasukan dalam kolom agama pada Kartu Tanda Penduduk dan Kartu Keluarga.
Andrie Elia menambahkan, ritual kematian merupakan antraksi budaya yang unik, menarik, dan mampu mendongkrak kunjungan pariwisata. Akan tetapi selama ini, ritual kematian sebagai produk budaya belum dikemas dengan baik untuk menjadi produk pariwisata. Seharusnya dengan memprtahankan kesakralan ritual kematian dan dikemas dengan penyajian bisnis pariwisata, akan mendongkrak pendapatan devisa negara.
Menurutnya dengan keseriusan dan pengelolaan pariwisata budaya yang baik, akan membawa Indonesia tidak lagi tergantung pada pendapatan yang berasal dari eksploitasi sumber daya alam. Sebagai contoh Singapura yang merupakan salah satu negara maju di dunia, berkembang pesat berkat perdagangan pariwisata. Kendati demikian jika melihat tren pariwisata Indonesia dari tahun 2002 hingga 2019, terlihat kenaikan signifikan.
“Tentu bisa, dengan cara ritual kematian dikemas sebaik mungkin dari sisi bisnis pariwisata, tanpa meninggalkan kesakralan dari ritual itu sendiri. Pemerintah dan tokoh ataupun lembaga adat mengagendakan waktu yang konsisten dan berkelanjutan, agar menjadi agenda kalender pariwisata. Dengan meningkatnya kunjungan wisatawan, tentu akan mendongkrak perekonomian negara secara signifikan,” imbuhnya.
Di sisi lain, lanjut salah seorang Tokoh Dayak Kalteng ini, banyak hal yang perlu diperhatikan untuk membangun ekosistem wisata budaya yang berkelas dunia, yaitu mendesain wisata budaya dengan mempertimbangkan aspek bisnis pariwisata, dan mengagendakan waktu khusus untuk antraksi budaya yang masuk dalam kalender pariwisata.
Selanjutnya, mempersiapkan SDM pariwisata yang berkelas dunia, baik dari sisi pelayanan maupun public speaking. Hal lain, mempersiapkan infrastruktur yang mendukung ekosistem pariwisata, seperti bandara internasional, akses jalan, penginapan, restoran, pusat perbelanjaan, pusat kebudayaan, dan rumah sakit kelas A. (red2)