Dr Yovinus: Terkesan Mendiskreditkan Tokoh Dayak
PALANGKA RAYA, inikalteng.com – Dinamika yang terjadi pada institusi Universitas Palangka Raya (UPR) sebagai salah satu Perguruan Tinggi Negeri terbesar di Kalimantan Tengah (Kalteng) menjelang pemilihan rektor baru periode 2022-2026, mendapat perhatian luas dari berbagai pihak. Tidak hanya di Kalteng tapi juga dari kalangan akademisi dan institusi lainnya di dalam maupun luar daerah.
Menurut Ketua Pusat Studi Ilmu Pemerintahan Dr Yovinus MSi, menyampaikan pendapat dan opini secara demokratis adalah suatu hal yang biasa sebagai bentuk kebebasan. Berbagai persepsi, perbedaan pendapat dan sudut pandang serta kepentingan adalah wajar selama dilakukan secara bermartabat dan menjunjung tinggi asas-asas intelektualitas yang mengedepankan logika, integritas keilmuan serta objektivitas dalam berfikir dan berpendapat tanpa sikap tendensius atau mendiskreditkan pihak lain, apalagi terhadap tokoh yang dihormati secara luas karena peran dan jasanya bagi perkembangan pembangunan keilmuan dan sumber daya manusia (SDM) di Pulau Kalimantan.
“Kami menghormati apapun yang menjadi persoalan di dalam institusi UPR dan tidak bermaksud untuk ikut campur ataupun melakukan intervensi apapun. Namun yang menjadi persoalan bagi kami adalah ketika saudara Dr Andrie Elia tokoh yang kami hormati dan menjadi panutan bagi seluruh intelektual Dayak kemudian terkesan dipojokkan dan dipersalahkan secara tendensius,” kata Yovinus yang juga Ketua Umum Forum Intelektual Dayak Nasional (FIDN) dalam press releasenya yang diterima inikalteng.com di Palangka Raya, Kamis (23/6/2022).
Pernyataan Yovinus ini menanggapi tulisan opini yang dibuat Ricky Zulfauzan, Dosen Ilmu Pemerintahan FISIP UPR, baru-baru ini, tentang penundaan Tahapan Pemilihan Rektor UPR Periode 2022-2026 di sebuah media online lokal.
Perlu ketahui, tegas Yovinus, bahwa Dr Andrie Elia adalah Ketua DPD FIDN Provinsi Kalteng, di mana para kolega di dalam perkumpulan ini memiliki ikatan emosional dan kebersamaan sebagai perkumpulan intelektual Dayak tingkat nasional, dan telah memiliki komitmen untuk bersama-sama membangun SDM Dayak agar dapat sejajar dengan komunitas-komunitas lain di NKRI ini.
Sebagai sesama akademisi, lanjutnya, seharusnya bisa menyelesaikan setiap persoalan dengan menjunjung tinggi integritas keilmuan, di mana logika dan ilmu harus bersatu dengan kebijaksanaan serta mengedepankan prinsip-prinsip musyawarah mufakat sesuai dengan prinsip-prinsip “Huma Betang” yang menjadi filosofi luhur Suku Dayak di seluruh Pulau Kalimantan dan dunia.
“Namun melihat manuver-manuver yang kami baca dalam rilis saudara, kami melihat bahwa ada tendensi untuk menghancurkan karakter saudara Dr Andrie Elia, yang bagi kami tidak dapat diterima dan akan kami bela dengan risiko apapun. Bagi kami, politik kampus adalah politik ilmu pengetahuan dan bukan politik kekuasaan. Namun melihat apa yang terjadi terhadap saudara Dr Andrie Elia, kami menyimpulkan bahwa persoalan ini memiliki tendensi menjatuhkan reputasi yang bersangkutan di depan umum atas nama peraturan dan perundang-undangan secara tidak bermartabat dan melanggar prinsip-prinsip musyawarah mufakat untuk
menyelesaikan setiap persoalan yang seharusnya dapat diselesaikan secara
internal,” tandas Yovinus yang juga Dosen Magister Ilmu Pemerintahan pada Universitas Jenderal Ahmad Yani, Cimahi, Jawa Barat.
Diungkapkan bahwa Andrie Elia sudah menyampaikan tidak lagi mencalonkan diri sebagai Rektor UPR. Sehingga, tudingan-tudingan yang disampaikan Ricky Zulfauzan kepada yang bersangkutan terindikasi fitnah dan bermuatan politis.
Dia menilai, dalam kapasitas sebagai akademisi Ilmu Pemerintahan, Ricky Zulfauzan tentu memahami adanya diskresi-diskresi tertentu dalam penyelenggaraan sebuah sistem administrasi, di mana seorang pimpinan memiliki kewenangan untuk menerjemahkan sebuah aturan dalam situasi-situasi tertentu ketika adanya opsi yang diberikan, tidak diatur secara teknis, tidak lengkap/tidak jelas, ataupun ketika terjadi stagnasi dalam penyelenggaraan administrasi kepemerintahan termasuk dalam institusi kependidikan.
“Berdasarkan konfirmasi yang kami peroleh dari saudara Dr Andrie Elia, kami memahami posisi beliau selaku seorang pimpinan/rektor yang berupaya untuk mengangkat institusi yang dipimpinnya agar menjadi maju dan sejajar dengan institusi Perguruan Tinggi lain di Indonesia. Oleh karena itu, beliau tidak ingin adanya stagnasi atau lambatnya perkembangan institusi yang beliau pimpin. Sehingga berbagai serangan yang ditujukan kepada beliau oleh saudara Ricky adalah salah kaprah dan tidak dapat kami terima,” tegas Yovinus.
Sebagai Ketua Umum FIDN, Yovinus meminta Ricky Zulfauzan untuk dapat lebih bijak dalam beropini dan menarik kembali pernyataan-pernyataan yang secara eksplisit maupun implisit telah menjatuhkan martabat tokoh Dayak yang dihormati serta meminta maaf
secara terbuka kepada masyarakat luas.
Sebab, kata Yovinus, kita tentu menginginkan suasana yang harmonis, dan jauh dari nuansa prasangka serta pertikaian sebagai sesama anak Borneo yang hidup dalam prinsip-prinsip kearifan lokal dan kaum beradat. “Kutipan yang saudara Ricky Zulfauzan ambil dari Mahatma Gandhi, seolah-olah mencitrakan adanya tindakan keserakahan atau sejenisnya yang telah dilakukan oleh saudara Dr Andrie Elia, dan itu sangat menyinggung perasaan kami yang mengenal beliau sebagai sosok orang tua dan tokoh yang kami jadikan sebagai panutan,” ucapnya.
Yovinus mengingatkan bahwa setiap persoalan yang terjadi dalam setiap suksesi di lembaga apapun, sebetulnya wajar dan diberi ruang seluas-luasnya di alam demokrasi ini. Apalagi sebagai akademisi yang mengemban tugas sebagai kelompok intelektual yang memiliki tanggung jawab untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, adalah naif untuk mempertontonkan ambisi dan kepentingan dengan menghalalkan segala cara, yang tentu akan dibaca/diakses oleh masyarakat luas dan mahasiswa karena dipublikasikan di media massa. (red1)
Komentar