Oleh Sadagori H Binti (Ririen Binti)
Sebagai Jurnalis yang sudah 20 tahunan berkutat dengan pemberitaan dan menulis opini, saya ingin berbagi untuk seorang Dosen yang opininya dinilai berbagai kalangan menghina Tokoh Adat Dayak, yang juga Rektor Universitas Palangka Raya (UPR) Dr Andrie Elia SE MSi.
Dalam opininya, sang Dosen juga mengatakan bahwa keberadaan atasannya secara langsung, yakni pengangkatan yang bersangkutan sebagai Dekan, tentang Perpanjangan Masa Jabatan Dekan, tidak memiliki dasar hukum yang jelas, maka keabsahan yang bersangkutan sebagai Dekan perlu diuji kembali.
Sang Dosen juga menyatakan, Rektor yang merupakan pimpinan tertinggi di tempatnya bekerja, dianggapnya gagal menyusun keanggotaan Senat yang taat asas. Karena itu, ia meyakini perpanjangan masa jabatan tidak akan diberikan kepada yang bersangkutan oleh Mendikbudristek. “ Masa iya, sudah salah. Bukannya diganti, malah diperpanjang,” tegasnya.
Bahkan untuk mempertegas opininya, sang Dosen mengutip kalimat Tokoh Dunia, terkait keserakahan.
Yang ingin saya tegaskan untuk Sang Dosen adalah opini jangan digunakan untuk menyerang pribadi seseorang dengan menyebut nama jelas dan membeberkan pelanggarannya yang belum tentu kebenarannya. Selain itu, jangan mengatasnamakan kebebasan untuk menyerat pembaca opini anda untuk merenungkan kalimat bijak yang akan mempermalukan pimpinan atau tokoh, yang kalimatnya sangat menyakiti hati.
Karena hakikat opini yang artinya pendapat atau pikiran, adalah cara menyikapi sebuah persoalan yang sedang terjadi, yang didukung fakta dan data yang bertujuan untuk mencari jalan keluar terbaik, bukan untuk menyerang pribadi dan menghina seseorang yang jelas namanya disebut.
Pada dasarnya, beropini atau berpendapat merupakan Hak Asasi Manusia (HAM), sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 28E ayat (2) dan (3), Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 1945).
Dalam ayat (2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya. Ayat (3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Di samping itu, pengaturan mengenai kebebasan berpendapat ini juga tertuang dalam Pasal 23 ayat (2) UU HAM yang berbunyi, “Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan, dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan negara”.
Artinya, setiap orang bebas beropini melalui media, namun penyampaian opini itu tidak terlepas dari undang-undang yang membatasinya, apakah dia melanggar moral, nilai agama, kemanan, dan ketertiban umum, bahkan pencemaran nama baik seseorang. Di dalam KUHP, ancaman pidana bagi pelaku kejahatan pencemaran nama baik dalam tulisan, diatur dalam Pasal 310 ayat (2) KUHP yang berbunyi, (1) Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Kemudian (2) Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(3) Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri. ***
Komentar