oleh

Komisi Yudisial Diminta Turun Tangan Terkait Vonis Lepas Terhadap Terdakwa Pasutri di Medan

JAKARTA, inikalteng.com – Praktisi Hukum, Edi Hardum angkat bicara terkait putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Medan, Sumatera Utara menjatuhkan vonis lepas terhadap pasutri yang didakwa memalsukan surat kuasa hingga merugikan perusahaan Rp 583 miliar.

“Jadi kalau dakwaan dan tuntutannya itu Pasal 263, saya sebagai orang yang belajar hukum walaupun belum saya baca dakwaannya, ini tidak masuk akal. Keputusan vonis lepas itu kan dari pemalsuan surat, Pasal 263. Patut diduga, pemalsuan surat itu ranah pidana bukan perdata,” tegasnya, Rabu (6/11/2024).

Edi menduga, hakim yang melakukan putusan vonis lepas di PN Medan sama dengan hakim yang menjatuhkan putusan bebas di Surabaya dalam kasus Gregorius Ronald Tannur yang dituduh menghilangkan nyawa kekasihnya Dini Sera Afrianti.

“Patut diduga ada sesuatu ini, ada permainan, bisa sogok atau yang lain. Oleh karena itu saya meminta Komisi Yudisial untuk turun tangan,” ungkapnya.

Edi meminta Komisi Yudisial untuk memeriksa dan menelusuri hakim ini sekaligus mengawasi Mahkamah Agung agar melakukan pengusutan.

Baca Juga :  Wabup Kapuas : Tingkatkan Sinergi Lintas Sektor Tekan Angka Stunting

“Mahkamah Agung jangan tinggal diam saja, malu kalau aparat penegak hukum lain di luar Mahkamah Agung melakukan penindakan. Mahkamah Agung ini sudah, mohon maaf, dengan kasus terakhir itu, ditemukan Rp 1 triliun dan dia mengakui itu terkumpul dari perkara, itu memalukan,” ucapnya.

Mahkamah Agung harus bisa segera bertindak. Pengawasan Mahkamah Agung jangan sebagai stempel atau rubber stamp.

“Semua itu yang saya harapkan, putusan vonis lepas dari dakwaan 263 itu saya menduga keras ada permainan. Ada sogok menyogok di sana,” ujarnya.

Sehingga dirinya meminta agar hakim tersebut harus segera diperiksa dan ditelusuri, kenapa sampai itu terjadi. Kalau bisa PPATK memeriksa rekeningnya. Bisa juga itu transaksi cash, kalau bisa KPK juga telusuri komunikasi hakim-hakim itu dan melakukan pengintaian.

“Kejadian ini sungguh memalukan ya, sudah sadis permainan hakim-hakim di Indonesia, oknum ya, karena tidak semuanya, masih ada hakim yang bersih. Tapi sudah terlalu banyak oknum,” jelasnya.

Sementara itu, Pengamat Hukum yang juga Ketua Umum Barisan Advokat Muda Bersatu (Baradatu), Herwanto Nurmansyah mendesak Komisi Yudisial mendalami putusan lepas di PN Medan.

Baca Juga :  Masyarakat Diminta Awasi Pekerjaan Proyek

“Bila perlu komisi III turun tangan, sama seperti perkara yang di surabaya, itu kan Komisi III juga langsung memanggil dan minta keterangan terkait dengan putusan bebas,” harapnya.

Herwanto meminta, setelah perkara ini diputus bebas idealnya harus didalami, barangkali ada dugaan-dugaan, mungkin ada penyuapan di dalamnya.

“Didalami oleh para penegak hukum, KPK hingga Komisi Yudisial, artinya semua lembaga yang terkait dengan penegakan hukum harus bergerak,” lanjutnya.

Ditegaskan, semakin besar sebuah perkara kemungkinan semakin besar potensi adanya dugaan tindak pidana penyuapan, bahkan korupsi.

“Memang setiap perkara yang cukup besar, pengawasannya harus dimuli sejak awal. Artinya mengawal perkara itu ya kalau bisa diupayakan pencegahan, kalau ini kan sudah terjadi. Nilai setengah triliun kan tidak kecil. Saya berharap perkara seperti ini bisa dilkukan pencegahan sejak awal sehingga tidak timbul permasalahan yang multi tafsir ketika perkara ini sudah diputus,” terangnya.

Sebelumnya, Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Medan, Sumatera Utara menjatuhkan vonis lepas terhadap pasangan suami istri (pasutri) didakwa memalsukan tanda tangan direktur CV Pelita Indah atas nama Hok Kim menyebabkan kerugian perusahaan sebesar Rp 583 miliar.

Baca Juga :  Ini Kasus Menonjol di 2022 Ditangani PN Kuala Kurun

“Menjatuhkan vonis lepas kepada kedua terdakwa. Melepaskan kedua terdakwa dari segala tuntutan,” kata Hakim Ketua M. Nazir di ruang sidang Cakra II, PN Medan, Selasa (5/11/2024).

Hakim menyatakan perbuatan kedua terdakwa, yaitu Yansen (66) dan istrinya Meliana Jusman (66) terbukti ada, tetapi perbuatan tersebut bukan perbuatan pidana melainkan perbuatan perdata.

Vonis tersebut jauh lebih ringan dari tuntutan JPU Septian Napitupulu, yang sebelumnya menuntut kedua terdakwa dengan pidana penjara masing-masing selama lima tahun karena melanggar Pasal 263 ayat (2) juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Menurut JPU Kejari Medan ini, terdakwa telah melakukan perbuatannya sejak 2009 hingga 2021 di Bank Mestika Cabang Zainul Arifin Medan. Mereka membuat surat kuasa palsu untuk menarik uang di bank tersebut.

Penulis  : Nopri

Editor    : Zainal

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

BACA JUGA