JAKARTA, inikalteng.com – Komite I DPD RI melalui Tim Kerja Pertanahan, mengadakan rapat dengar pendapat mengenai isu tata ruang dan pertanahan, pada Selasa (29/6/2021). Sehari sebelumnya, Komite I juga mengikuti rapat terkait Rancangan Undang-Undang Desa. Pada rapat ini, Relawan Jaringan Rimbawan (RJR) menjadi narasumber.
Anggota Komite I DPD RI, Agustin Teras Narang mengungkapkan, RJR membuka fakta bagaimana kondisi tata ruang saat ini. Lalu sejarah seputar Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) yang pernah dipakai untuk menyelesaikan berbagai persoalan tata ruang dan pertanahan di Indonesia.
Menurut Teras, disadari bahwa fakta soal tumpang tindih kebijakan yang membuat isu tata ruang menjadi semakin kompleks. Baik antar kementerian maupun antar pemerintah pusat dan daerah.
“Hal ini tentunya menyebabkan penyelarasan kepentingan pelestarian hutan dan pemanfaatan ekonomi dari perkebunan sawit juga turut terpengaruh. Belum lagi penataan yang tidak berjalan baik, berakibat munculnya perkebunan sawit pada kawasan hutan yang tidak seharusnya,” sebut Teras.
Dikemukakan, RJR menyayangkan dan berharap bahwa penataan ruang dapat membuat dua wilayah ini saling menopang. Industri sawit dapat berkelanjutan, hutan juga mendapat perhatian dan perbaikan untuk kepentingan ekologis. Meski mereka mengakui ada upaya dari pemerintah mencoba memperhatikan isu agraria, termasuk dengan menyediakan alokasi lahan sekitar 12 juta hektare dalam skema perhutanan sosial.
Pihak RJR menilai, semestinya peruntukan program reforma agraria ini menuntaskan terlebih dahulu wilayah yang mengalami tumpang tindih lahan yang menjadi persoalan sekian lama. Bukan malah membuka wilayah lain, yang mengakibatkan masalah lama tetap terbengkalai tanpa kepastian hukum.
Dicontohkan, Kalteng dan Riau menjadi model dalam kompleksitas pengaturan soal tata ruang. Penyelesaian Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) agar selaras dengan situasi sebenarnya mengalami tantangan hingga sekarang. Dampaknya pun mempengaruhi kelancaran pembangunan.
“Saya sebagai seorang yang pernah memimpin di Kalteng, mengakui hal ini. Sulit menuntaskan kompleksitas tata ruang ketika kewenangan tidak memadai. Pemerintah pusat juga tidak memiliki itikad politik dalam menuntaskan. Terlebih kunci penyelesaian soal tata ruang ini ada pada pemerintah pusat,” ungkap mantan Gubernur Kalteng dua periode ini.
Teras menambahkan, pada era sentralisasi, Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) dapat dilakukan. Sudah semestinya pada era otonomi daerah hal ini lebih memungkinkan. Apalagi bila pemerintah serius dan berkomitmen menghadirkan investasi di Indonesia, tentu penyelesaian isu tata ruang mendesak untuk dituntaskan.
“Kalau melihat problem tata ruang kita hari ini, apalagi dengan adanya indikasi jutaan hektare area perkebunan berada dalam kawasan hutan yang tidak seharusnya, kita mesti bertanya, quo vadis tata ruang Indonesia? Mau kemana arah penataan ruang kita ini?,” tanya Teras.
Terlebih, disebutkan dia, tidak berjalannya semangat dan prinsip One Map Policy dalam menyelesaikan isu yang ada antara lembaga dan kementerian terkait. Karena itu, perlunya penyadartahuan untuk memahami isu ini dan mendorong penyelesaiannya.
“Ke depan, saya berharap, baik Komite I DPD RI dan RJR dapat berkolaborasi, melakukan beberapa advokasi di berbagai daerah secara terstruktur, sistematis dan masif. Ini adalah hal penting, untuk memastikan masyarakat tidak diabaikan, dan negara dapat berjalan dengan baik dalam mengelola tata ruang,” pungkas Teras Narang. (adn)
Komentar