SAMPIT – Ketua Komisi I DPRD Kabupaten Kotawarimgin Timur (Kotim) Agus Suryantara, meminta kepada Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kotim supaya bisa lebih serius lagi dalam menata aset atau barang daerah yang memiliki potensi ekonomi. Artinya, ada manfaat finansial dan ekonomi yang bisa diperoleh pada masa yang akan datang, yang bisa menunjang peran dan fungsi pemerintah daerah sebagai pemberi pelayanan publik kepada masyarakat.
“Pemahaman akan aset bisa berbeda antara ilmu perencanaan, manajemen keuangan, dan akuntansi. Aset daerah diperoleh dari dua sumber, yakni dari APBD dan dari luar APBD,” jelas Agus di Sampit, Selasa (5/1/2021).
Dia mengungkapkan, aset yang bersumber dari pelaksanaan APBD merupakan output/outcome dari terealisasinya belanja modal dalam satu tahun anggaran. Sedangkan aset yang bersumber dari luar pelaksanaan APBD, perolehannya tidak dikarenakan adanya realisasi anggaran daerah, baik anggaran belanja modal maupun belanja pegawai serta belanja barang dan jasa. Hal itu sudah jelas dalam aturan pengelolaan aset daerah sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6/2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah. Kemudian ditindaklanjuti dengan Permendagri Nomor 17/2007 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah.
“Meskipun sudah ada aturan yang sangat rinci, namun persoalan aset daerah hingga saat ini masih mengalami beberapa kendala. Salah satunya terkait dengan proses perencanaan dan penganggaran. Dalam praktek pengelolaan aset daerah sering dianggarkan sesuatu yang tidak dibutuhkan, sedangkan yang dibutuhkan tidak dianggarkan,” tuturnya.
Hal itu, lanjut Agus, bisa terjadi karena adanya kepentingan-kepentingan tertentu, seperti rente yang diterima oleh aparatur daerah sebelum pengadaan barang dilaksanakan.
Persoalan lainnya, menurut Agus, seperti pada kasus pengadaan barang atau jasa. Tahapan ini paling sulit. Karena selain rawan dengan praktik korupsi, “ancaman” menjadi tersangka (lalu menjadi terpidana) juga cukup besar. Oleh karena itu, masalah yang paling sering muncul adalah mekanisme pengadaannya berupa penunjukan langsung, pemilihan langsung, atau tender bebas. Beberapa aparatur daerah sering tidak bersedia menjadi panitia pengadaan karena takut terjerat kasus korupsi. Meskipun aparatur daerah telah mengikuti ujian sertifikasi (sebagai syarat menjadi panitia pengadaan barang dan jasa sesuai Keppres Nomor 80/2003), umumnya mereka lebih senang tidak lulus. Sehingga tidak perlu bertanggung jawab terhadap proses pengadaan barang dan jasa.
“Jika dikelola dengan baik dan serius, pasti daerah pun bisa memanfaatkan aset ini untuk mendatangkan PAD dan pemasukan daerah lainnya,” kata Agus. (red)