PBS Diminta Laksanakan Program Pemberdayaan Masyarakat

SAMPIT, inikalteng.com – Anggota Komisi IV DPRD Kotawaringin Timur (Kotim), Cici Desliya, meminta kepada seluruh Perusahaan Besar Swasta (PBS) khususnya perkebunan kelapa sawit maupun pertambangan yang beroperasi di Bumi Habaring Hurung ini, agar bisa melaksanakan program pemberdayaan terhadap masyarakat setempat.

Legislator asal Dapil V ini mengungkapkan, program pemberdayaan masyarakat merupakan hal yang sudah diwajibkan dalam aturan, terutama untuk warga desa binaan yang terletak di sekitar wilayah operasional perusahaan tersebut.

Baca Juga :  Pemprov Kalteng Siapkan Pasar Penyeimbang Saat Hari Besar Keagamaan

“Kami kira ini merupakan hal yang sangat penting dan wajib. Karena pemberdayaan masyarakat khususnya di bidang tenaga kerja atau mitra misalnya, sangat berkaitan erat dengan peningkatan perekonomian di wilayah desa itu sendiri,” ungkap Cici saat dibincangi wartawan di Sampit, Rabu (6/4/2022).

Cici menambahkan, di samping memang kewajiban PBS untuk melaksanakan 20 persen lahan plasma, salah satu program yang harus diutamakan oleh setiap PBS yakni pemberdayaan masyarakat sekitar desa binaan. Program pemberdayaan yang dilakukan oleh PBS tersebut bisa bekerja sama dan berkolaborasi dengan pemerintah desa (pemdes).

Baca Juga :  Dua Perusahaan Group Minamas Dinilai Melalaikan Kewajibannya

“Kita contohkan saja misalnya program yang bisa dilaksanakan adalah pelatihan dan sosialisasi mengenai tata cara berkebun kelapa sawit dengan baik dan benar, pemberian bantuan bibit unggul, penyediaan tenaga penyuluh, perekrutan tenaga kerja di desa setempat dan lainnya,” ucapnya.

Dengan demikian, menurut Cici, maka konflik kesenjangan sosial, sampai pada permasalahan lainnya, tidak akan mencuat. Sehingga masyarakat benar-benar dapat merasakan kehadiran PBS itu sendiri menguntungkan bagi mereka.

Baca Juga :  Excavator di Kecamatan Harus Dimanfaatkan untuk Kepentingan Masyarakat

“Kita ketahui, kesenjangan sosial ini di daerah kita menjadi konflik di lingkup PBS. Ini terjadi karena banyaknya persoalan, seperti sengketa lahan, minimnya rekrutmen tenaga kerja dari masyarakat desa wilayah operasional perusahaan itu sendiri, sampai pada masalah CSR dan juga dampak operasi,” jelas Cici. (ya/red1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

BACA JUGA