SAMPIT, inikalteng.com – Anggota Komisi I DPRD Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) Hendra Sia meminta kepada Pemkab Kotim supaya bisa melakukan tata kelola aset atau barang daerah yang memiliki potensi ekonomi bagi daerah.
“Pemahaman akan aset bisa berbeda antara ilmu perencanaan, manajemen keuangan, dan akuntansi. Aset daerah diperoleh dari dua sumber, yaitu dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan dari luar APBD,” kata Hendra Sia, Jumat (2/12/2022).
Dijelaskan, aset yang bersumber dari pelaksanaan APBD merupakan output atau outcome dari terealisasinya belanja modal dalam satu tahun anggaran. Dalam hal ini, pemerolehan aset tidak dikarenakan adanya realisasi anggaran daerah, baik anggaran belanja modal maupun belanja pegawai, serta belanja barang dan jasa.
Hal itu sudah jelas dalam aturan pengelolaan aset daerah di dalam PP Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah, yang kemudian ditindaklanjuti dengan Permendagri Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah.
Walaupun sudah ada aturan yang sangat rinci, namun persoalan aset daerah hingga saat ini masih mengalami beberapa kendala, salah satunya persoalan yang muncul terkait dengan proses perencanaan dan penganggaran. Dalam praktiknya, pengelolaan aset daerah sering dianggarkan sesuatu yang tidak dibutuhkan, sedangkan yang dibutuhkan tidak dianggarkan. Hal ini bisa terjadi karena adanya kepentingan-kepentingan tertentu, seperti sesuatu yang diterima oleh aparatur daerah sebelum pengadaan barang dilaksanakan.
“Persoalan lainnya seperti pada kasus pengadaan barang atau jasa. Tahapan ini paling sulit karena selain rawan praktik korupsi, ancaman menjadi tersangka juga cukup besar. Oleh karena itu, masalah yang paling sering muncul adalah mekanisme pengadaannya yakni penunjukan langsung, pemilihan langsung, atau tender bebas,” jelas Hendra Sia.
Bahkan, lanjutnya, beberapa aparatur daerah sering tidak bersedia menjadi panitia pengadaan karena takut terjerat kasus korupsi. Meskipun aparatur daerah telah mengikuti ujian sertifikasi sebagai syarat menjadi panitia pengadaan barang dan jasa sesuai Keppres Nomor 80/2003, namun umumnya mereka lebih senang untuk tidak lulus. Sehingga tidak bertanggung jawab terhadap proses pengadaan barang dan jasa.
“Saya melihat kalau aset itu dikelola dengan baik dan serius, pasti daerah pun bisa saja memanfaatkan aset tersebut untuk mendatangkan pendapan asli daerah,” ujar Hendra Sia. (ya/red1)