PALANGKA RAYA, inikalteng.com – Menyikapi putusan dan ketetapan Mantir Perdamaian Adat terkait laporan Ririen Binti, dengan putusan menghentikan perselisihan dengan pihak terlapor, dinilai banyak kalangan sebagai putusan yang aneh. Pasalnya, putusan yang dikeluarkan tanpa melalui mekanisme yang benar, sebagaimana aturan Hukum Adat Dayak, seperti adanya pertemuan dan mediasi antara kedua belah pihak.
Hal tersebut, diungkapkan Dekie Kasenda SH MH kepada wartawan, di Palangka Raya, Jumat (8/3/2024).
Pria yang juga Akademisi dan Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Tambung Bungai Palangka Raya ini, mengatakan, melihat proses hukum adat yang dilakukan, belum bisa dikatakan proses hukum adat yang benar. Karena, belum ada pertemuan masing-masing pihak dan mediasi sebagaimana layaknya perdamaian untuk menyelesaikan perselisihan.
“Tata cara yang benar untuk menyelesaikan perselisihan menuju perdamaian, selain adanya pertemuan langsung kedua belah pihak, juga dilakukan mediasi dan kesepakatan para pihak,” tegasnya.
Dekie yang juga Advokat senior di Kalteng ini, menambahkan, disebabkan proses Hukum Adat Dayak di Kedamangan belum selesai, atau tidak sesuai aturan yang berlaku, maka putusan yang dikeluarkan Damang cacat prosedur dan tidak bisa diberlakukan, sehingga Polisi harus mengabaikan putusan tersebut.
“Polda kalteng atau Penyidik yang menangani kasus dugaan penggelapan tersebut, tidak boleh menyikapi putusan Hukum Adat dengan menghentikan proses hukum yang sedang berjalan. Apalagi sudah masuk sidik, dan SPDP sudah dikirim ke Jaksa,” tuturnya.
Akademisi yang juga Pekerja Gereja ini kembali menegaskan, biasanya apabila SPDP sudah dikirim ke Jaksa, ibarat buah sudah matang tinggal dipetik, atau secara materil semua unsur sudah terpenuhi untuk ditindaklanjuti. Dengan begitu tidak bisa dihentikan, meskipun ada Putusan Adat terkait dugaan tindak pidana tersebut.
Penulis : Ardi
Editor : Ika
Komentar