Santri, Pesantren dan Seni

Oleh: Muhamad Romadoni, M.Pd *)

SEMARAK Hari Santri telah lewat. Namun, kehidupan santri tetaplah santri yang haus dengan segudang ilmu.

Jika kita menelisik santri secara umum, kita akan menyaksikan bahwa klaim santri sebatas pada orang yang menekuni ilmu agama sepenuhnya. Namun akhir-akhir ini bisa kita saksikan secara langsung, bahwa kehidupan santri yang berada di pesantren, tampaknya memiliki disiplin ilmu yang memberikan ruang untuk berkreativitas dalam mengolah rasa.

Saya sempat terlibat dalam lomba cerpen dan foto “Gebyar Hari Santri” dan “Kartun Santri” yang diadakan oleh Kementerian Agama Republik Indonesia. Ternyata kemampuan santri dalam bidang seni mampu memberikan nuansa baru dalam menangkap fenomena yang ada di pesantren. Belum lagi kegiatan seni yang ada di sebagian pesantren sebagai kegiatan pengolahan rasa, mampu memberi gambaran baru serta menawarkan solusi yang diharapkan pada realitas sosial yang terus menerus berubah sesuai perkembangan zaman.

Santri dan Seni
Berbicara santri dan seni seringkali digambarkan dunia yang berbeda, sulit dipertemukan. Santri dianggap orang yang memperdalam ilmu agama, di dalamnya berisi norma dan aturan, sementara seni mengekspresikan sebuah gagasan, kebebasan dan kreativitas.

Di beberapa pesantren masih ada persilangan pendapat yang tak bisa terelakkan. Tapi pada kenyataannya, kehidupan pesantren yang sangat beragam sebetulnya dekat sekali dengan seni. Bisa dijumpai hampir kebanyakan santri di seluruh pesanten bersinggungan langsung dengan bentuk kaligrafi (rupa), nadzoman (sastra), dan rebana (musik). Bahkan pada tataran yang lebih luas kebiasaan santri dalam menyambut ulang tahun pesantren sering kali mementaskan kesenian baik dekorasi panggung, busana, baca puisi, menyanyi, pertunjukan wayang, musik dan tari.

Baca Juga :  Seni Tradisi Kalteng dalam Merawat Kebangsaan

Secara historis, penyebaran Islam di bumi Nusantara ini khususnya di tanah Jawa, tidak lepas dari media seni yang dibawa oleh Sunan Kalijaga. Berbagai macam bentuk kesenian yang dijadikan media dakwah mampu memberikan pemahaman baru dalam mengaplikasikan agama sebagai pedoman hidup.

Di masa sekarang dijumpai pula tokoh ulama yang bersinggungan langsung dengan seni. Sebut saja seperti KH Ahmad Mustofa Bisri yang akrab dengan Gus Mus. Kiyai sekaligus pelukis, novelis, dan budayawan. Selanjutnya ada Emha Ainun Najib yang akrab dengan sapaan Mbah Nun, Kiyai juga dikenal sebagai seniman, penyair dan budayawan. Walaupun pada dasarnya para tokoh tersebut kadang tidak mau disebut tokoh apapun. Karena, beliau sudah menempati tingkatan yang mampu menjadi peran apapun sesuai kebutuhan masyarakat sebagai manusia. Para tokoh tersebut telah memberikan warna baru pada peta perjalanan kehidupan sosial politik para ulama. Pemikirannya yang baru dilatarbelakangi dari seorang santri, terlihat lebih humanis dan selalu mengajarkan kita untuk memanusiakan manusia.

Baca Juga :  Fahrul Razi Berikan Bantuan Paket Sembako untuk Warga

Dari sederet bukti itu bukankah sudah cukup sebagai saksi, bahwa hubungan antara santri dan seni tak bisa dipisahkan. Hadirnya seni dapat menggali kreativitas-kreativitas dalam mewujudkan pemikiran baru. Sedangkan santri berupaya untuk mencari dalam sebuah tatanan yang dibingkai dalam agama. Sangat jelas bahwa keduanya saling beriringan dalam mencapai kesejatian manusia.

Pesantren Berbasis Seni
Salah satu pendidikan non-formal yang kuat dengan tradisi di Indonesia ialah pendidikan pesantren. Di Negara lain tidak akan dijumpai pendidikan semacam ini. Tradisi pesantren yang dikenal sangat kuat dengan penggalian-penggalian budaya lokal dan penggalian ilmu salaf (salafus shalih), tampaknya dapat diterima pada masyarakat luas.

Bisa dilihat di pelbagai penjuru Nusantara, kehadiran alumni pesantren sangat memiliki peran yang kuat dalam tatanan masyarakat. Hal ini merujuk dari seorang kyai yang pada dasarnya sebagai panutan di masyarakat secara luas.

Menyoal pesantren dan seni, tentu tidak lepas dari etika dan estetika yang mendasarinya. Secara aksiologi etika dan estetika sangat berdampingan untuk saling mendukung. Pesantren sebagai pembentukan moral dalam hal ini sebuah etika, tentu dalam menjalankannya dibutuhkan estetika dalam memperjelas khasanah etika itu sendiri.

Baca Juga :  Pagelaran Wayang Kulit Sanggar Seni Tresno Budoyo Dalam Rangka Sambut 1 Muharram 1445

Sutardjo (2006), jika manusia beretika berarti manusia itu baik sesuai dengan norma-norma etik. Sedangkan estetika membicarakan permasalahan (russel), pertanyaan (langer), atau issues (farber) mengenai keindahan menyangkut ruang lingkup, nilai, moral, pengalaman, perilaku, dan pemikiran.

Plato dalam tesisnya mengatakan “that art should be the basis of education”. Salah satu basis yang kuat dalam pondasi pendidikan ialah seni. Pesantren sebagai pendidikan nonformal perlu memperhitungkan terpenuhinya kebutuhan emosional dalam rangka mengolah rasa. Dalam hal ini, kegiatan berseni sebagai proses hubungan sosial, melibatkan emosi yang sangat mendalam dan nilai-nilai kemanusiaan.

Jadi, Pesantren yang sejatinya pendidikan Islam, hendaklah nilai estetika berupa seni menjadi salah satu patokan yang penting dalam proses pengembangan pendidikan yakni dengan pendekatan estetis-moral, di mana persoalan pendidikan Islam coba dilihat dari perspektif yang mengikutsertakan kepentingan masing-masing pihak, baik itu santri, kyai, pemerintah, serta masyarakat luas. Ini berarti pendidikan pesantren diorientasikan pada upaya menciptakan suatu kepribadian yang kreatif, bermoral, dan berseni (sesuai dengan Islam).**

*) Penulis adalah Dosen Pendidikan Sendratasik, FKIP, UPR dan Alumni Ponpes Al-Hikmah Benda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

BACA JUGA