PALANGKA RAYA,inikalteng.com- Dituntut 1,5 tahun, denda sebesar Rp50 juta subsidair pidana kurungan selama dua bulan, membuat terdakwa dugaan tindak pidana korupsi (Tipikor) penyaluran Dana Alokasi Khusus (DAK) Non Fisik tahun anggaran 2017 Dinas Pendidikan (Disdik), Jefri Suryatin meminta dibebaskan dari segala hukuman.
Pua Hardinata selaku Penasihat Hukum Jefri mengatakan, bahwa tidak ada dua alat bukti yang mendukung untuk dapat menjerat kliennya yang saat itu bertugas sebagai petugas Operator Sistem Informasi Manajemen Tunjangan (Simtun) pada Dinas Pendidikan (Disdik) Katingan.
“Tidak ada dua alat bukti yang mendukung untuk menjerat klien kami. Bahkan keterangan saksi pun kami anggap berdiri sendiri, jadi perlu dibebaskan dari segala tuntutan dan hukuman, ” Kata Pua Hardinata usai persidangan, di Pengadilan Tipikor Palangka Raya, Rabu (16/8/2023).
Pua menambahkan, pembelaan yang dibacakan terkait dengan dakwaan ketiga JPU yakni Pasal 11 UU Tipikor bahwa seorang PNS tidak boleh menerima hadiah atau janji karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya.
“Kami membantah dakwaan Pasal 11 karena klien kami bukanlah seorang pejabat tapi hanya seorang operator yang tidak memiliki kekuasaan atau kewenangan yang bisa memerintah dan merumuskan kebijakan mempengaruhi orang lain,” ucap Pua.
Selain itu, sambungnya, terdakwa tidak terbukti menerima hadiah atau janji. JPU juga tidak bisa menyebutkan kepastian dan kevalidan nominal yang diterima oleh terdakwa.
“Kesaksian para saksi dipersidangan yang menyebutkan ada memberikan hadiah berupa uang juga telah dibantah keras terdakwa Jefri,” Tegasnya.
Terkait kerugian negara, pengacara senior ini menyebutkan di dalam kasus korupsi, kerugian negara harus jelas, nyata dan terukur sebagaimana isi putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016. Sedangkan yang dituduhkan kepada Jefri, kerugian negara sekedar potensi atau indikasi.
“Dengan demikian surat dakwaan ketiga (Pasal 11 UU Tipikor) adanya menerima hadiah atau janji dari kesimpulan LHP Inspektorat Katingan tidak terbukti sebagaimana dalam dakwaan sebesar Rp916,7 juta, ” Lanjutnya.
Pua juga menyoroti penggunaan LHP Inspektorat Katingan untuk menjerat kliennya. Menurut dia, LHP tersebut tidak bisa lagi digunakan sebagai barang bukti, dengan alasan sudah pernah dijadikan berkas perkara dan telah dinilai dalam perkara Jainudin Sapri dan Supriadi dengan putusan bebas yang dikuatkan oleh putusan kasasi MA.
“Saya mengistilahkan LHP Inspektorat Katingan adalah barang yang sudah mati atau suatu bukti yang tidak bernilai, ” Tuturnya.
Sementara itu, Hadiarto selaku JPU perkara tersebut menolak isi pledoi yang menyebutkan perkara kurang alat bukti. Sebabnya, apa yang diterima terdakwa Jefri merupakan pemberian bukan tertangkap tangan sehingga alat bukti lain tidak ada.
“Namanya pemberian pasti orang yang diberi nggak mau mengaku. Kalau ngaku, masuk penjara semua,” ucapnya.
Terhadap tudingan kerugian negara hanya sekedar potensi, Kasi Pidsus Kejari Katingan ini menyampaikan dalam perkara itu pihaknya tidak mengarah ke kerugian negara namun fokus pada Pasal 11 UU Tipikor, penerimaan janji atau hadiah oleh PNS atau penyelenggara negara.
Menurut dia, di dalam LHP Inspektorat Katingan sebelumnya terdakwa Jefri pernah dimintai keterangan oleh tim pemeriksa yang sudah ditandatangani dan diberi materai. Pada saat itu terdakwa Jefri mengakui ada menerima pemberian hadiah dari beberapa guru yang nominalnya yang berbeda dalam nota pembelaan sebesar Rp916,7 juta.
“Padahal dalam dakwaan Pasal 11, terdakwa terima tidak terlalu besar atau tidak sampai Rp916,7 juta tapi sekitar Rp39 jutaan sesuai versi dakwaan kedua. Namun dalam persidangan terdakwa menyatakan dirinya dipaksa atau diarahkan tim Inspektorat Katingan. Kenapa pada waktu pemeriksaan saksi dari Inspektorat Katingan terkait hasil LHP dia tidak membantah,” pungkasnya. (ard/red2)